23 Desember 2008

Penjajahan Supir Angkot

Dinas Perhubungan Kota Padang agaknya perlu memakai otak dalam menyetujui penambahan armada angkutan umum. Para supir angkutan umum pun mestinya pakai otak dalam memilih cara guna menggelar unjuk protes atas kebijakan pemerintah kota.



SELASA (16/12) pagi itu saya buru-buru ke kampus di Limau Manis. Ada ujian mid pukul 08.00. Sebab bangun kesiangan, sudah lewat pukul 07.30, dan jarak antara kawasan Jati—tempat tinggal saya—dengan kampus, sekitar 17 kilometer, saya terpaksa “memeras” gas Jupiter Z hingga kecepatan maksimum 100 Km/jam. Untung saja, keadaan jalanan sedang “aneh” kala itu.

“Belum terlambat kayaknya, nih,” kata saya dalam hati. Saya berpikir demikian bukan tanpa alasan. Masih banyak rekan-rekan mahasiswa dan siswa berseragam sekolah menengah yang berdiri di pinggir Jalan Andalas hingga simpang Anduring. Mereka tentu menunggu angkutan kota (angkot) atau bis. Seperti hari-hari yang lalu, kalau keadaannya begini, berarti masih sekitar pukul 07.30. Jadi, saya tak perlu terlalu berburu waktu. Saya merasa, jam di rumah saya lah yang bermasalah.

Saya masih sempat, seperti biasa, melirik ke salah satu gang tempat teman saya mengontrak rumah, tak jauh dari Mesjid Kebenaran, kalau-kalau dia juga belum berangkat.

Tapi, pikiran saya yang semula, tiba-tiba kembali menguat. Keadaan jalanan memang tidak seperti biasanya, di pagi yang tak begitu cerah itu. Semakin jauh motor saya melaju, hingga simpang empat By Pass, semakin banyak pula saya melihat para mahasiswa yang masih menunggu angkutan. Tak banyak berpikir lagi, “kuda” kembali saya pacu, seperti beberapa saat sebelumnya..

Dalam perjalanan yang tak menyenangkan, karena saya ternyata memang telah benar-benar terlambat, itu saya ingat, kemarinnya para supir angkutan umum mogok beroperasi. Kemogokan itu rupanya masih berlanjut. Cuma satu atau dua angkot berwarna hijau yang “nekat”.

Menjelang sampai di Pasar Baru, keadaannya semakin jelas. Sekitar sepuluh bis kota berbaris di pinggir jalan. Beberapa orang kernet nampak sibuk mencuci bis mereka masing-masing. Wajah-wajah tak berdosa itu seperti bersiul-siul menikmati “penjajahan” mereka pada para mahasiswa yang sedang menunggu tanpa kepastian di sepanjang jalan tadi.

Ini, mungkin dampak buruk dari kebebasan berekspresi yang melejit perkembangannya sejak reformasi 10 tahun silam. Cobalah tengok, telah berapa kali kejadian macam ini terjadi. Berapa kali pula kejadian yang merugikan masyarakat ini akan terulang?

“Penjajahan” ala reformasi ini tentu tak bisa dibiarkan. Sebelum saya malah menulis berkepanjangan tentang hal-hal di luar konteks, sebaiknya saya batasi saja pada pembahasan mengapa saya tega memakai istilah penjajahan, sebagaimana judul ulasan ini. Satu kata itu bagai belati bermata dua.

Mata pertama, tentu saja saya merujuk penjajahan para supir angkot pada mahasiswa. Anak-anak muda itu butuh dan bergantung pada angkutan umum guna menuju kampus. Nah, para supir angkot—tapi sebetulnya lebih tepat pengusaha angkot—tahu hal tersebut. Mereka memanfaatkan kebergantungan ini guna memuluskan keinginan mereka sendiri. Apa saja yang mereka inginkan atau untuk memprotes kebijakan pemko yang bisa jadi memang merugikan mereka, para supir tinggal berhenti beroperasi sementara.

Mereka tak peduli, akibat ulah mereka, para mahasiswa yang jadwal kuliahnya telah diprogram sepagi mungkin itu, terganggu. Mereka seenaknya saja memperlakukan mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya, serupa sandera, guna menarik perhatian pemerintah.

Mata kedua, penjajahan itu menimpa para supir angkot sendiri. Kebijakan keliru dari pemerintah, telah merugikan mereka. Dalam kasus tempo hari itu, para supir mogok karena menentang kebijakan Pemerintah Kota Padang, tepatnya Dinas Perhubungan yang memberi izin penambahan angkutan kota sebanyak, kalau tak salah, 20 unit. Ini telah membuat supir angkot dan bis kota yang telah lama beroperasi, marah. Dengan lebih dari 4000 unit yang ada sekarang saja, kami sudah harus kerja ekstra keras dalam mencari penumpang, demikian alasan mereka. Tapi, di sisi lain, Dinas Perhubungan perlu meningkatkan pendapatan, salah satunya dengan memberi izin trayek pada para pengusaha angkot baru.

Tumbal terakhir tetap saja mahasiswa (baca: masyarakat). Reformasi yang berkembang secara aneh di negeri ini, memungkinkan setiap kebebasan berekspresi menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat. Kini, kita tinggal menunggu saja, sampai kapan hal ini bertahan. Sampai kapan pemerintah kota benar-benar memakai otak dalam membuat suatu kebijakan yang berhubungan dengan khalayak.***

Readmore »»

Jika Tubo Tiba...

Saya membayangkan, betapa banyaknya orang Maninjau akan memenuhi rumah sakit jiwa.

Saya masih ingat, dulu sekitar tahun 1990-an, masa-masa “turun ke danau” bagi orang-orang yang bukan “orang danau” semacam saya, adalah masa paling menyenangkan. Kala itu, di kampung saya, selingkar Danau Maninjau, orang-orang sangat akrab dengan istilah tubo. Jika tubo tiba, hampir semua warga berduyun-duyun ke tepian.

Tubo merupakan sebutan untuk suatu keadaan danau yang lain dari biasanya. Air danau berubah menjadi hijau pekat. Bau belerang yang terdapat di dasar danau, menyeruak dari permukaan air yang tak tenang sebagaimana sebelumnya. Itu terjadi hampir setiap tahun, biasanya menjelang bulan puasa.

Kala itulah, masyarakat, baik yang memang bermata pencaharian sebagai nelayan maupun yang tidak, menikmati “panen” ikan. Sebab, puluhan ribu ekor ikan, dari yang berukuran seujung kuku semacam rinuak, sampai pada yang sebesar paha serupa barau yang ada di danau, menepi dalam keadaan setengah sadar—orang Maninjau menyebutnya ikan yang sedang nena. Ikan-ikan itu seperti keracunan dan berusaha menjauh dari pusat danau yang terus mengeluarkan belerang. Menu masakan di setiap rumah di sana, sudah pasti dipenuhi ikan selama seminggu berturut-turut.

Nah, apa jadinya bila tubo datang saat sekarang? Tak mustahil, akan banyak orang Maninjau, khususnya pemilik keramba dilarikan ke rumah sakit jiwa.

Betapa tidak, ratusan orang Maninjau kini menggantungkan hidupnya pada bisnis ikan dengan jala apung (keramba). Cobalah lihat, di sepanjang tepian danau itu, kini bertaburan lebih dari 10 ribu petak keramba. Jutaan ekor ikan siap panen akan bergelimpangan di sepanjang jalanan di pinggir danau, bila tubo datang lagi seperti yang terjadi di awal-awal banyaknya keramba, 1997. Saat itu, saya mendengar ada pemilik keramba yang tenggen (gejala gila), sebab menderita kerugian ratusan juta rupiah.

Keramba, terbukti telah meningkatkan perekonomian masyarakat Maninjau. Sayangnya, saya tidak memiliki data valid tentang lonjakan pertumbuhan ekonomi akibat bisnis ini. Mungkin beberapa waktu ke depan saya akan coba melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Tulisan ini, semata memperhatikan sekilas perubahan kehidupan orang Maninjau yang semula terkenal sebagai daerah pariwisata potensial, sekarang menjadi kawasan bisnis ikan yang juga potensial. Bahkan, kepotensialannya jauh melebihi potensialnya kawasan itu sebagai daerah wisata.

Ini dapat dibuktikan dengan tak lagi banyak pemuda kampung yang menganggur. Kita ambil contoh di kampung saya saja, Gasang, sebuah jorong kecil, 2 kilometer ke Utara Pasar Maninjau. Sepuluh tahun lalu, saya masih melihat kawan-kawan saya hilir mudik kampung, tak jelas tujuannya. Mereka kebanyakan bekerja sebagai kuli bangunan, dan nelayan kambuhan yang ke danau sekali-sekali, bila sudah benar-benar kehabisan uang. Yang menamatkan SMA pun tak seberapa.

Sekarang, hampir tak ada lagi pengangguran. Setidaknya, mereka memiliki motor sendiri untuk ojek. Ini mungkin disebabkan mudahnya persyaratan dan banyaknya fasilitas pembelian motor secara kredit. Tapi saya menyilau dari sisi lain; bila tidak ada harapan akan sanggup membayar, mereka tentu tak sembarangan mengambil kreditan. Nah, keramba telah berperan besar di sini. Banyak keluarga yang telah menambah mata pencahariannya dengan berkeramba. Bahkan, sebagian benar-benar membanting setir menjadi pekeramba tulen.

Hebatnya lagi, orang-orang Maninjau yang diperantauan banyak pula yang memodali sanak famili mereka untuk berkeramba. Ada juga yang memang sengaja merantau guna mencarikan modal keramba untuk saudaranya yang tinggal di kampung. Ini merupakan budaya baru yang tumbuh bukan tanpa alasan. Kesuksesan beberapa orang di tahun-tahun lalu telah memancing minat masyarakat lain.

Tapi sayangnya, kemilau bisnis ini menimbulkan kerusuhan di sisi lain. Air danau tak lagi sejernih dulu. Danau pun, cuma indah jika dipandang dari jauh. Akankah silau uang dari keramba telah melupakan masyarakat Maninjau akan kelestarian lingkungan danaunya sendiri? Saya merasa, pihak Kabupaten Agam, mungkin melalui Bapedalda, sudah harus membuat kebijakan guna mengantisipasi terjadinya peracunan air yang berlarut-larut oleh makanan ikan di sana.

Tubo, yang kini sudah tak terdengar, mungkin saja suatu saat nanti datang kembali, dengan porsi raksasa, sebab telah lama belerang terpendam. Tak kan muat rumah sakit jiwa di daerah ini jika itu terjadi. Masyarakat di sana sekarang sedang terbelit hutang dalam memodali keramba mereka. Dan, keadaan danau yang tetap normal, adalah nyawa mereka.***

Readmore »»

07 November 2008

Percintaan Si Gadih Ranti

Ramai pekan Saribunian
Ramai pedagang yang berlalu
Ramai sampai petang hari
Dengarkanlah oleh Tuan
Kaba cerita seorang dahulu
Ialah si Upik Gadih Ranti
...

SITI Nurbaya. Mendengar nama itu, angan kita mungkin segera melayang pada kisah kasih tak sampai dua orang remaja di jaman dulu. Atau bisa juga kita teringat objek wisata taman Siti Nurbaya di Gunung Padang; tempat konon Siti Nurbaya dikuburkan. Tapi, bagaimana dengan Gadih Ranti?

Mungkin cuma para mahasiswa sastra daerah Minangkabau yang tahu nama itu. Pun kalau mereka mempelajari sastra lisan Minangkabau atau kaba “Si Gadih Ranti jo Bujang Saman”.

Itu yang membedakan dua legenda tersebut. Cerita Siti Nurbaya telah diolah dan dipublikasikan sedemikian rupa, hingga diketahui oleh khalayak. Tak hanya dalam bentuk novel karangan Marah Rusli yang dicetak berulang kali, Siti juga pernah divisualisasikan Asrul Sani lewat sinetron di TVRI beberapa tahun lalu. Bahkan, sebuah grup band papan atas yang bukan berasal dari Sumbar, Dewa 19, juga pernah melambungkan nama Nurbaya dalam lagu berjudul “Cukup Siti Nurbaya”. Belum lagi, tuangan para peseni Minang ke kesenian tradisi, serupa randai, saluang, atau lagu pop berbahasa daerah. Belakangan, sebuah jembatan di kota Padang pun diberi nama sang legenda. Buahnya, objek wisata yang membawa embel-embel nama Siti Nurbaya pun ikut tenar.

Tak berlebihan, guna “menjual” objek wisata yang memiliki sisi mitos atau legenda, perlu langkah besar dalam upaya melambungkan terlebih dahulu sang legenda yang diusung tersebut. Siti Nurbaya yang disebut di atas tak hanya satu-satunya pemisalan. Ada lagi Malin Kundang, yang membuat pantai air manis jadi kesohor. Di daaerah lain, misalnya legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi, kisah di belakang objek wisata Gunung Tangkuban Perahu. Dua legenda terakhir juga telah diapungkan setinggi-tingginya, hingga menempati positioning yang kuat di benak masyarakat.

Ini mungkin yang menjadikan objek wisata Gadih Ranti di kawasan Maninjau, kurang terkenal. Tak ada pengembangan kisah; apa yang menarik dari sang tokoh. Ia telah menjadi satu dari belasan aset terlupakan di Kabupaten Agam.

Pengunjung Danau Maninjau, mungkin telah terlalu terhipnotis oleh keelokan paras danau itu. Apalagi bagi mereka yang sempat menikmatinya dari arah Bukittinggi. Kelok 44 (ampek puluah ampek) telah menyajikan pada mereka pemandangan danau bak lukisan yang menakjubkan. Itu mungkin yang menyebabkan kebanyakan dari mereka kehilangan rasa ingin tahu, tentang objek “minor” lain di sana. Salah satunya, objek wisata Gadih Ranti, yang juga tak kuat legendanya itu. Danau Maninjau sendiri, terkenal dengan Bujang Sambilan-nya.

Bentukan alam yang unik
Objek wisata berupa air terjun dan pemandian itu terletak di kawasan antara kecamatan Tanjung Raya dan Lubuk Basung. Tepatnya di kisaran Lubuk Sao, tak jauh dari bendungan irigasi Batang Antokan; sekitar 12 KM dari Pasar Maninjau atau 3 KM dari Pasar Usang Lubuk Basung.

Sebagai bentukan alam yang terletak di kawasan hutan, suhu di sekitar air terjun dan pemandian Gadih Ranti sangatlah sejuk. Sangat cocok untuk tempa melepas lelah dan kejenuhan bagi para pekerja kantoran di kota yang tiap hari, meminjam istilah Iwan Fals, berkelahi dengan waktu.

Sebetulnya, Gadih Ranti merupakan aset potensial. Ia memiliki ciri khas yang dapat dijual. Pertama, air terjunnya bercabang. Tak seperti, misalnya, air terjun lembah anai yang jatuh sekaligus, di Gadih Ranti, aliran air itu merambat dan berliku dulu di dinding tebing, baru jatuh. Dari kejauhan akan terlihat serupa aliran kapas putih yang merambati bukit hijau.

Kedua, pemandiannya. Inilah sesungguhnya yang menjadi muasal nama Gadih Ranti. Di sana, konon, tempat Gadih Ranti, seorang gadis cantik berambut panjang, sering mandi. Masyarakat sekitar masih menyimpan misteri tentang pemandian itu. Bila anda berkunjung ke sana, cobalah perhatikan dasar kolam pemandian itu. Ia terbentuk dari sebuah batu yang besar. Seorang teman, alumni Fakultas Sastra Unand, M. Reza, yang juga penulis blog, melukiskannya begini: seakan-akan batu alam yang besar tersebut sengaja dipahat menjadi wadah untuk menampung air untuk mandi dan berendam.

Nah, sebagai objek wisata alam, Gadih Ranti sudah memenuhi berbagai persyaratan. Seandainya terletak di pinggir jalan, serupa air terjun Lembah Anai, mungkin legenda tentang Gadih Ranti tak perlu dilambungkan. Orang-orang akan tertarik sendiri, sebab bisa langsung menyaksikannya dari dalam kendaraan yang sedang mereka bawa atau tumpangi.

Namun Gadih Ranti berada di tempat tersembunyi, seperti juga taman Siti Nurbaya dan batu Malin Kundang. Jauh dari lalu-lalang kendaraan. Hampir setengah kilo Jalan menuju lokasi itu pun masih berupa jalan setapak yang sangat alami. Cara terbaik guna mempopulerkannya adalah mengadopsi bagaimana Siti Nurbaya dan Malin Kundang terkenal, yaitu: mengembangkan kisah tentang Gadih Ranti. Mungkin dengan menerbitkan buku berupa novel, komik atau bahkan lewat sinetron/film di televisi.

Kaba “Si Gadih Ranti jo Bujang Saman”
Pantun di bagian awal tulisan ini merupakan bagian awal pula dari kaba “Si Gadih Ranti jo Bujang Saman” karya Syamsuddin Sutan Radjo Endah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh M. Atar Semi. Cerita yang pernah diterbitkan oleh Pustaka Indonesia tersebut diterbitkan kembali oleh Proyek Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, pada 1991.

Langkah penerjemahan kaba sekaligus penerbitannya ke dalam bentuk buku tersebut sebetulnya sudah menjadi langkah bagus guna memperkenalkan cerita tentang Gadih Ranti pada masyarakat. Sebab, di jaman sekarang, banyak orang yang kurang berminat pada sastra lisan khas Minangkabau (kaba) itu; apa lagi para remaja. Mereka lebih tertarik membaca novel atau menonton film.

Tapi, mungkin saja, ceritanya masih belum dikemas semenarik cerita Siti Nurbaya atau Malin Kundang, hingga Gadih Ranti tak terlalu dikenal. Ia masih berupa terjemahan “telanjang” dari kaba. Belum berbentuk cerita utuh yang mudah dan enak dinikmati semua kalangan.

Kisah Cinta Gadih Ranti
Sebetulnya cerita Gadih Ranti agak mirip dengan Siti Nurbaya. Dari kaba milik Sutan Radjo Endah, yang resensinya ditulis oleh seorang blogger asal Sumbar, tersebutlah kisah hubungan asmara (pertunangan) antara si Bujang Saman dengan Si Gadih Ranti. Percintaan mereka terhalang oleh keinginan Datuk Mangkuto Sati untuk memperistri Ranti. Datuk sendiri digambarkan sebagai sosok penghulu kepala yang otoriter dalam pemerintahan dan suka korupsi.

Guna memuluskan keinginannya, Datuk berupaya menjauhkan Saman dari Ranti. Ia akhirnya berhasil mengkondisikan Saman menjadi pekerja rodi di Malalak, sebuah daerah di bukit sebelah barat Danau Maninjau. Sang Datuk berharap, Saman mati di sana, dan hubungan pertungannya dengan Ranti putus.

Tapi, cinta Ranti telah menghujam sangat dalam di sanubari Saman. Daripada hidup seperti ini/ elok saya berani mati. Dengan cara tertentu ia berhasil melarikan diri dari rombongan rodi. Pemuda itu kembali ke kampungnya. Namun, sial bagi Saman, anak buah Datuk Mangkuto yang mengetahui pelariannya; menghadang dan mengeroyoknya. Perkelahian pun tak bisa dihindari. Sejumlah anak buah Datuk terpelanting tak berdaya, sebab ilmu silat Saman jauh di atas mereka.

Setelah itu, Saman berhadapan langsung dengan orang yang berniat merebut kekasihnya. Perkelahian berlanjut. Singkat cerita, Saman tetap menang. Ia meneruskan perjalanan. Sekitar tiga bulan setelah itu, ia menikah dengan pujaan hatinya dan merantau ke Padang.

Nah, demikian sepenggal kisah tentang Gadih Ranti, sosok yang diusung masyarakat setempat dalam menamakan objek wisata di daerah mereka itu. Pemda Agam pun telah resmi menjadikannya aset daerah, dengan memberikan papan petunjuk berlabel Pemerintah Kabupaten Agam di jalan menuju lokasi tersebut. Tapi, agaknyak, bila ingin mempopulerkannya, pemda perlu memikirkan kelanjutan pengembangan cerita sang “empunya” pemandian dan air terjun itu.

Mungkin, di masa akan datang, ceritanya dapat ditulis lebih menarik bergaya modern. Tentu saja dengan tidak menghilangnya nilai-nilai nasehat yang terkandung di dalamnya, serta dengan memperkuat tema: siapa sesungguhnya Gadih Ranti. Berlayar kapal dari Jepun/ Penuh muatan cawan dan pinggan/ Dikarang kaba dan pantun/ Jika untung jadi pelajaran.***

Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Mingguan Rakyat Realitas Edisi 45, 7-14 November 2008

Readmore »»

07 Agustus 2008

Menulis di Atas Danau (bagian 2)

Kala hujan di tengah danau menyemburkan laut asin, kau tak kan percaya, amis gerimis terakhir meninggalkan sebongkah batu berlumut. orang-orang terus mengalir

ke pusaran waktu yang tak kunjung reda. sekilas kupandang langit hijau dari permukaan tanah kering. wajah-wajah suram menjelma kerikil terus saja merongrong kursi-kursi yang beterbangan. penduduk kampung mulai enggan diinjak.

dari sebuah intip dinding dari pelepah pepaya, kuperhatikan polah orang-orang berkupiah hitam. kain sarung mereka sudah seperti kain buruk; lap kaki. kata-kata mereka tak menggambarkan apa-apa tentang danau. mereka juga bukan orang-orangan sawah yang dihoyak dari dangau-dangau jerami. mereka adalah politikus-politikus ingusan yang berus berbicara tentang pemilihan. kursi-kursi beterbangan di benak. angan-angan berenang di danau. sawah-sawah kering? "Ah, tinggalkan saja, Bung," kata tetua kampung yang sarungnya paling kumal.

dari sebuah perahu kecil yang tenang diombang anak riak, aku menulis semua yang kulihat sepanjang hari itu. separuh hari di rumah ibuk. separuh hati di kota. lama, tapi ku tak tahu apakah pemilihan itu akan tetap berlangsung dengan sepoi angin asin di terang hijau langit, sementara wajah-wajah suram kerap mengganggu mimpi-mimpi indahku dengan kekasih yang jauh. Padang Agustus 2008

Readmore »»

29 Juli 2008

DPRD Tak Jelas Kelaminnya

“Sekarang ini, DPRD tak jelas kelaminnya. Seperti banci!,” ujar Prof. Dr. Willa Chandra Supriadi, anggota Pansus RUU Susunan dan kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD dan DPRD. Ia tampil sebagai pembicara di ruang sidang utama DPRD Sumbar...

(6/3) siang, dalam acara sosialisasi RUU Susduk. Ia juga mencap UUD 1945 telah menzalimi wakil rakyat di daerah .

Sama halnya dengan Firman, peserta acara asal DPRD Tanah Datar, yang mengemukakan ketidakjelasan kedudukan anggota DPRD. “Kami ini apa? Dalam satu kesempatan, kami dikategorikan pejabat Negara, di kesempatan lainnya kami berubah menjadi pejabat daerah. Bahkan, masyarakat terkadang juga mempertanyakan apakah kami selaku anggota DPRD, pejabat atau bukan. Dan sampai hari ini kami merasa jadi pejabat jadi-jadian,” ujarnya mengisi termen pertama diskusi dalam acara tersebut.

Menurutnya, ketidakpastian ini berawal dari eforia otonomi daerah; tidak boleh ada dikotomi kekuasaan. Itu makanya, sebagian orang bisa saja mengartikan pasal 18 ayat 2 dan 3 UUD 1945 memayungi kewenangan Pemda dalam mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerahnya, tanpa campur tangan DPRD. Parahnya, persepsi tersebut juga dapat menempatkan DPRD seakan berada di bawah Pemda, yang pergerakannya dibayangi oleh Depdagri. “Harus jelas, DPRD ini ‘dewan’ atau ‘dinas’,” lanjut Firman.

“Bila sempat mengartikan DPRD adalah bagian dari eksekutif, itu salah!” teriak Willa yang berasal dari FPDIP DPR RI ini.

Seperti yang dikatakan Chozin Chumaidy, Senin (28/2) lalu, wakil ketua pansus RUU Susduk, seperti dikutip Realitas dari situs DPR, sekarang ada kecenderungan kuat untuk berikhtiar agar DPRD diberikan suatu perkuatan dan reposisi khususnya dalam kewenangan hak budgetnya, kontrol dan juga membuat aturan perundangan. Sekarang ini terkesan di daerah-daerah bahwa DPRD ini adalah bagian dari Pemerintah Daerah (Pemda).

Bahkan gerak langkahnya seperti di bawah Depdagri, ini akan dirumuskan nanti dimana posisi DPRD itu. Dalam membahas masalah ini ingin menghimpun masukan lebih lengkap dari DPRD. Dengan masukan ini ada uusulan apakah DPRD tetap dibahas dalam RUU Susduk atau justru dalam UU tentang Pemerintahan Daerah. Muncul usulan sebetulnya DPRD dibahas bukan dalam RUU Susduk melainkan dalam RUU Pemda, karena Pemda terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD. “ Mestinya disitu, sehingga akan lebih memperkuat otonomi daerahnya,” tandas Chozin .

Perbedaan dalam Memahami UUD 1945
Perbedaan pemahaman terhadap pasal yang menyangkut DPRD dalam UUD 1945 sangat mungkin terjadi karena keberadaannya yang sama dengan pasal yang menyangkut Pemda, yaitu sama-sama berada pada Bab VI yang berjudul Pemerintahan Daerah. Sementara badan legislatif lainnya yaitu MPR, DPR dan DPD diatur dalam bab-bab tersendiri. Tidak salah bila anggota DPRD merasa dianaktirikan oleh UUD. Untuk mengantisipasi hal ini, kedepannya DPR akan mengupayakan amandemen V.

Ketua rombongan yang juga anggota komisi III DPR RI, Nursanita Nasution (F-PKS), menyatakan RUU Susduk tidak hanya ditujukan untuk mempertegas kedudukan DPRD, tapi juga diharapkan dapat mengefektifkan legislatif daerah sebagai penyambung lidah rakyat.
Para peserta acara yang berasal dari beberapa DPRD kabupaten/kota sangat berharap RUU Susduk ini yang akan menggantikan UU Susduk sebelumnya, yaitu UU No. 22 Tahun 2003. Hal ini dibuktikan dengan keaktifan mereka dalam sesi diskusi debarengi wajah mereka yang cerah selama kurang lebih 2 jam acara berlangsung. Ditambah lagi, Masful, wakil ketua DPRD Sumbar, yang memandu acara tersebut berbicara lantang di akhir acara mengajak para peserta berbicara langsung dengan ketua DPR RI di Jakarta pada Mei mendatang, sebelum RUU disahkan menjadi UU. “ duapuluh (20) dari seluruh pasal yang akan dijadikan UU kalau bisa dari usulan kita,” lanjutnya disambut tepuk tangan hadirin.

Status DPRD Menjadi Jelas
Berbahagialah para anggota dewan tingkat daerah, bila UU Susduk terbentuk. Dalam UU tersebut akan terdapat pasal yang menyatakan bahwa setiap pejabat negara dan masyarakat harus menjunjung tinggi kehormatan dan martabat DPRD, dengan memenuhi panggilan lembaga tersebut dan memberikan keterangan yang diperlukannya. Dengan demikian, status DPRD akan menjadi jelas, tidak seperti selama ini yang seakan hanya berfungsi sebagai ‘panitia’ pengesahan APBD dan Perda tanpa mempunyai kekuatan untuk menganalisa dampaknya terhadap masyarakat luas. Dan yang penting akan ada kejelasan bahwa DPRD bukan anak buahnya Depdagri.

Pada saat yang sama, dalam situs DPR (6/3) disebutkan Pansus Rusduk juga tengah melakukan sosialisasi RUU Rusduk di Kalimantan tengah yang lebih menekankan pada kemungkinan keberadaan DPD di daerah.

Melalui pembentukan RUU Rusduk, pemerintah jelas ingin lebih mengoptimalkan otonomi daerah. Maka bersiap-siaplah untuk maju, bagi daerah yang memiliki sumber daya yang potensial. Sebaliknya, tertinggallah daerah yang tidak mampu memenej sumber daya yang dimilikinya.

Tidak seperti yang diharapkan, pada sosialisasi RUU Susduk di ruang sidang utama DPRD Sumbar tidak seluruh perwakilan dari DPRD kabupaten/kota yang hadir.. Berdasarkan buku tamu, yang hadir hanya DPRD Kota Bukittinggi, DPRD Tanah Datar, DPRD Kota Padang dan DPRD Kota Padangpanjang.

Readmore »»

Orang Minang Otaknya Jalan

Emil Salim: Hantam Habis-Habisan Infrastruktur

SUMATRA Barat perlu mengembangkan industri yang sedang tumbuh di kawasan khatulistiwa ini. Terutama industri yang berkaitan dengan...

pertanian. Tapi, Penekanan terhadap industri pertanian bukan pada industri beras atau bahan mentah, melainkan kreatif industri. Misalnya, kreatif dalam industri makanan/masakan, kerajinan dan pengolahan hasil alam lainnya. Ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing hasil produksi di Sumbar dengan propinsi tetangga dan, tentunya, luar negeri.

“Masyarakat Minang ini otaknya jalan,” kata panelis dalam diskusi panel pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sumbar 2005-2025 di DPRD Sumbar Prof. Dr. Emil Salim,” bila ada kesempatan mereka akan bergerak. Kita punya industri makanan yang tumbuh, begitu juga dengan kerajinan. Jadi butuh infrastruktur untuk mendistribusikannya. Oleh sebab itu, hantam habis-habisan pada infrastruktur, itu kunci utamanya.”

Menurut mantan Mentri Lingkungan Hidup di jaman Suharto ini, kekurangan mencolok di Sumbar memang minimnya infrastruktur, terutama jalan. Selama ini aktivitas di jalan sangat padat, misalnya jalan raya Padang-Bukittinggi yang acapkali dilalui kargo bermuatan berat. Akibatnya, fasilitas jalan yang menghubungkan antar kabupaten/kota di Sumbar rata-rata rusak, karena kelebihan beban.

Itu menandakan industri sedang bekembang, tapi pemerintah kurang arif dalam menyikapi persoalan infrastruktur yang sesungguhnya menjadi darah pembangunan tersebut. Perbaikan-perbaikan jalan yang kebanyakan hanya dengan cara penambalan tidak akan memberikan hasil maksimal. Emil menyarankan, infrastruktur dikembangkan lebih jauh.

Butuh Kereta Api
“Yang saya belum lihat di sini adalah kereta api. Selama ini kan aktivitas di jalan sangat padat, apalagi dilalui kargo. Makanya jalan banyak yang rusak. Kereta api dibangun untuk kargo. Jadi nantinya kargo ke kereta api, beban jalan jadi kurang,” papar Emil yang mengaku kemenakannya H. Agus Salim ini.

Lebih jauh Emil juga menyarankan pengembangan jalur kargo kereta api ke Pekanbaru, sebab di daerah minyak itu sekarang sedang maju-majunya. “Kenapa ke pakan baru? Nah, kalau di darat ada Pakanbaru dan di pantai ada Teluk Bayur, (akan lebih mudah berhubungan dengan luar negeri-red) karena ada Asian Economy. Ada selat malaka. Jadi hantam habis-habisan pada infrastruktur,” lanjut Emil.

Pembangunan Sosial
Menurut Emil, pembangunan yang akan dikembangkan di Sumbar tidak hanya dalam bidang ekonomi. Pembangunan sosial budaya, pun menjadi prioritas penting. Sehubungan dengan tema diskusi panel Menjadikan Sumatra Barat Provinsi Berbasis SDM Tahun 2025, Emil menyokong fungsi lembaga adat di masing-masing daerah. Adat Basandi Syarak, Syarak basandi kitabullah harus ditanamkan benar ke masyarakat, karena itu dari dulu menjadi senjata utama Minangkabau dengan daerah lain.

Langkah nyata yang harus segera dilakukan adalah menyatukan semua unsur yang membentuk industri. Misalnya ada pertambangan, industri, ada pertanian, perkebunan, dan perikanan, bagaimana menggabungkannya menjadi suatu kekuatan, bukan persengketaan. Bagaimana menyatukan masing-masing potensi yang ada; mensinergikan masyarakat, pengusaha dan pemerintah; merajut keharmonisan sosial dan bisnis dan; kerjasama antara masyarakat dengan perguruan tinggi.

Pemda, kata Emil, seharusnya bisa membaca peta kemiskinan di Sumbar. Misalnya, daerah di daerah utara ada Pasaman yang infrastrukturnya mesti betul-betul jadi perhatian. Atau di daerah selatan, Pesisir Selatan, dimana kemiskinan bersumber dari banyaknya lahan kering yang tak mungkin di olah sebagai lahan pertanian. Hal-hal seperti ini harus diperhatikan pemda dengan memerankan fakultas pertanian.

Selain itu, pemda Sumbar juga harus pandai menimbang-nimbang dampak industri kepada masyarakat sekitar. “Kalau kita punya gunung, lembah, dataran dan pantai, bagaimana memanfaatkannya. Artinya kalau kau bangun pertambangan di hulu, bagaimana dampaknya pada masyarakat di hilir,” terang Emil.

Peran Ninik Mamak
Profesor dari Universitas Indonesia ini juga menegaskan, ninik mamak bukan pemerintah. Ia memiliki kaum dari keturunannya sendiri, atau privat domain yang tentu saja bertanggung jawab terhadap kaumnya itu. Sementara pemerintah, apalagi yang dipilih langsung oleh rakyat, merupakan public domain yang bertanggung jawab pada rakyat.

Penggabungan dua ‘domain’ ini akan menjadikan kekuatan yang dahsyat di Sumbar. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan pengaruh ninik mamak dalam program yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat. Misalnya dalam menghadapi persoalan tanah ulayat yang selalu menjadi kendala dalam pengembangan industri di Ranah Bundo ini.

Readmore »»

Apa Kabar Lagu Minang?

PERSONIL grup band asal Jawa kerap mengatakan puas setelah menggelar konser di Ranah Minang, tepatnya di Kota Padang. Betapa tidak, setiap gelaran musik tersebut selalu dibanjiri penggemar yang sebagian besar anak muda. Bagaimana dengan lagu Minang? Benarkah popularitas lagu-lagu ‘gaul’ itu, telah menggeser lagu Minang menjadi figuran di Ranah sendiri? Atau bahkan sedikit demi sedikit telah mengikis, bahkan, budaya Urang Awak?

Menurut seorang pencipta lagu Minang, Sexri Budiman, pusaka terbesar orang Minang adalah...

‘kato’ atau kata. Demikian keramatnya kata dalam bahasa Minang, dari penuturnya kita dapat menilai seberapa sopan orang tersebut, seberapa luas wawasan dan tingkat intelektualnya. Malangnya, saat ini, ‘pusaka’ itulah yang sedang dikikis sedikit demi sedikit oleh orang Minang sendiri terutama orang Padang.

“Cobalah simak, berapa banyak orang tua di Padang ini yang sengaja membiasakan anak-anaknya menggunakan Bahasa Indonesia sedari balita,” kata Sexri saat Realitas berkunjung ke rumahnya di kawasan Cendana Koto Kaciak Blok B No 22, Rabu pekan lalu,” mereka tidak sadar, tindakan mereka itu sama saja dengan menjauhkan anaknya dari budaya Minang, sebab budaya kita ini bermula dari kata-kata.”

Sexri, yang juga Staf Penata Kegiatan Musik di UPTD Taman Budaya ini menegaskan, itulah antara lain penyebab generasi muda sekarang tak menyukai lagu Minang. Parahnya, para remaja bahkan tak mengenal lagi apa itu budaya Minang. Tak heran bila mereka lebih cenderung menggilai lagu-lagu berbahasa Indonesia semisal yang dinyanyikan grup band Dewa 19, Peterpan, Nidji, Naff dan lain-lainnya, sekalian teradopsi budaya yang mereka anggap modern itu.

“Kita jauh tertinggal dari Cina dan Jepang, misalnya,” tutur Sexri. Orang Cina, ke mana mereka pergi, budaya mereka bawa, mereka tidak terpengaruh orang lain, begitu juga dengan Jepang. Sementara orang Minang, menurutnya, mudah sekali terpengaruh budaya luar tanpa menyaringnya terlebih dahulu, cocok dengan adat atau tidak.

Sejauh itukah efek dari tak menggunakan lagi bahasa Minang? Pencipta lagu Marawa ini menjawab,”Ya!”

Sementara itu, Pencipta lagu Minang lainnya, Agus Taher, memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, kita tak harus menjadikan ramainya pengunjung konser musik sebagai indikator maju mundurnya lagu Minang. “Coba lihat, industri rekaman saat ini jauh lebih banyak di banding tahun 90-an. Kalau produser waktu itu tidak sampai 10, dan Production House paling cuma Sinar Padang, Tanama, dan Minang Record. Sekarang dalam catatan saya produser sudah sekitar 75, dengan 26 PH. Berarti mereka masih eksis. Bahkan berkembang,” katanya saat dikunjungi di rumahnya di kawasan komplek Balitan di samping Sumatex Subur, Lubuk Kilangan, Rabu pekan lalu.

Selain itu, menurut Agus, masih banyak penyanyi Minang yang dipanggil ke luar Sumbar bahkan luar negeri, seperti Anroy’s, Ucok Sumbara, Odi Malik, Nedi Gampo, Susi, dan lainnya. “Si Odi Malik saja semalam berangkat ke Batam,” cetusnya. Jika masih bisa mereka di bayar 3-5 juta sekali show, kata Agus, berarti orang masih menghargai Lagu Minang.

Satu faktor yang menyebabkan lagu Minang tak terlalu menonjol di daerahnya sendiri yaitu kurangnya dukungan media. Ini sangat dirasakan oleh orang-orang seperti Sexri dan Agus. Sementara industri-industri musik di Jawa, jor-joran mengumbar artis mereka sampai ke pelosok-pelosok, baik di media cetak maupun elektronik. “Dulu di era 90-an itu kami sangat terbantu oleh media,” kata Agus.


Kualitas Kurang Diperhatikan

Dari segi kualitas pun, lagu Minang sekarang kabarnya banyak yang bobrok. Sexri, yang juga pemilik kursurs vokal, mengutarakan, lagu, seharusnya memiliki fondasi yang kuat pada kata dan roh (melodi). Kata, dalam hal ini bahasa Minang, tak boleh tidak, wajib dipilih yang benar-benar Minang, bukan saduran.Demikian pula dengan melodi, hendaknya menomorsatukan ‘garinyiak’ yang khas (Minang), bukan irama latin yang datar. Lagu yang baik akan menyebabkan orang yang mendengarnya menjadi arif, sebab banyak pelajaran di dalam syairnya. Bukan sebaliknya, setelah orang merasa arif, baru dia merasa perlu mendengar lagu.

Ini semua tak lepas dari kesiapan dan ilmu para pencipta lagu Minang itu sendiri. .”Banyak pencipta yang asal-asalan,” cetusnya. Mereka kebanyakan tak mau belajar, dan mempertahankan ego sendiri-sendiri, hingga tak kunjung berkembang.

Menjamurnya produser juga memegang andil menurunkan kualitas lagu Minang. Seperti yang dikatakan Agus tadi, produser sekarang ini sudah sampai 75 orang. Tapi, tak semuanya pandai menyeleksi lagu-lagu yang akan mereka biayai rekamannya. Banyak artis yang belum layak rekaman, mereka angkat juga. Bisa dikatakan, sekarang kuantitas lebih diutamakan dari kualitas yang notabene menjadi nilai jual.

Agus Taher, yang juga sekretaris Aserindo, mencatat, pernah dulu dari Juli 2004-Des 2005, anggotanya mengeluarkan 204 album. Dari segi kuantitas, luar biasa, dalam waktu 1,5 tahun asosiasi industri rekaman yang berpusat di Padang itu berani mencetak segitu banyak album. Bagaimana kualitasnya? “Sayangnya kan masih banyak produser yang coba-coba. Tergiur untung banyak saja.,” kata Agus. Produser yang berpengalaman, menurutnya akan lebih selektif memilih lagu dan penyanyi.

Dengan banyaknya produser, lagu-lagu yang beredar pun tak terkontrol. Dulu, lagu Minang sudah terkenal dengan ciri ratok-nya. Kita tentu masih ingat lagu Kasiak Tujuah Muaro buah karya Agus Taher yang dinyanyikan Zalmon. Album yang diantaranya berisi lagu itu mendapat penghargaan dari HDX, sebagai album dengan penjualan terbanyak. Bayangkan, ia mengalahkan seluruh daerah di Indonesia. Betapa antusiasnya pencinta lagu Minang dulu itu.

Nah, entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja hadir lagu-lagu triping dan remix. Kata Agus Taher, jenis lagu semacam itu tak cocok dengan budaya orang Minang dan dasar lagu Minang sendiri. Benar saja, segmentasi pasarnya jadi terpecah. Lagu daerah, setidaknya harus menggambarkan keadaan daerahnya sendiri, baru punya nilai jual.

Agus tak menampik, para pencipta harus tetap kreatif dan terus belajar mengenal situasi penggemar. Mereka boleh berkreasi mengikuti aliran musik yang tengah berkembang sekarang. “Saya saja sudah menggunakan melodi manual seperti musik-musik anak muda sekarang itu,” katanya. Tapi, sebaiknya tidak meninggalkan identitas yang dulu telah sama-sama dibangun: lagu Minang yang punya syair dan harmoni yang indah.


Pencipta Tak Kompak

Sexri Budiman menyayangkan, rekan-rekannya sesama pencipta lagu tak biasa berkumpul guna saling bertukar fikiran. “Kalau berkumpul pun, kadang cuma maota-ota nan ndak jaleh atau mangecekkan urang,” katanya. Itu sebabnya ia tak lagi aktif dalam PAPRI walau pernah menjadi sekretaris di organisasi para artis dan pencipta lagu itu.

Lebih jauh ia memaparkan, umumnya urang awak (seniman Minang) tak benar-benar paham akan hakikat sebuah organisasi. Dalam fikiran mereka, organisasi cenderung diartikan semata sebagai tempat yang disana mereka bisa meminjam uang atau minta bantuan lainnya. Padahal, lazimnya, organisasi adalah wadah pemersatu orang-orang yang merasa satu profesi, tujuan, atau ilmu. Organisasi hidup dari para anggotanya, bukan sebaliknya, anggota yang mencari hidup di organisasi.

Readmore »»