07 Agustus 2008

Menulis di Atas Danau (bagian 2)

Kala hujan di tengah danau menyemburkan laut asin, kau tak kan percaya, amis gerimis terakhir meninggalkan sebongkah batu berlumut. orang-orang terus mengalir

ke pusaran waktu yang tak kunjung reda. sekilas kupandang langit hijau dari permukaan tanah kering. wajah-wajah suram menjelma kerikil terus saja merongrong kursi-kursi yang beterbangan. penduduk kampung mulai enggan diinjak.

dari sebuah intip dinding dari pelepah pepaya, kuperhatikan polah orang-orang berkupiah hitam. kain sarung mereka sudah seperti kain buruk; lap kaki. kata-kata mereka tak menggambarkan apa-apa tentang danau. mereka juga bukan orang-orangan sawah yang dihoyak dari dangau-dangau jerami. mereka adalah politikus-politikus ingusan yang berus berbicara tentang pemilihan. kursi-kursi beterbangan di benak. angan-angan berenang di danau. sawah-sawah kering? "Ah, tinggalkan saja, Bung," kata tetua kampung yang sarungnya paling kumal.

dari sebuah perahu kecil yang tenang diombang anak riak, aku menulis semua yang kulihat sepanjang hari itu. separuh hari di rumah ibuk. separuh hati di kota. lama, tapi ku tak tahu apakah pemilihan itu akan tetap berlangsung dengan sepoi angin asin di terang hijau langit, sementara wajah-wajah suram kerap mengganggu mimpi-mimpi indahku dengan kekasih yang jauh. Padang Agustus 2008

Readmore »»