29 Juli 2008

DPRD Tak Jelas Kelaminnya

“Sekarang ini, DPRD tak jelas kelaminnya. Seperti banci!,” ujar Prof. Dr. Willa Chandra Supriadi, anggota Pansus RUU Susunan dan kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD dan DPRD. Ia tampil sebagai pembicara di ruang sidang utama DPRD Sumbar...

(6/3) siang, dalam acara sosialisasi RUU Susduk. Ia juga mencap UUD 1945 telah menzalimi wakil rakyat di daerah .

Sama halnya dengan Firman, peserta acara asal DPRD Tanah Datar, yang mengemukakan ketidakjelasan kedudukan anggota DPRD. “Kami ini apa? Dalam satu kesempatan, kami dikategorikan pejabat Negara, di kesempatan lainnya kami berubah menjadi pejabat daerah. Bahkan, masyarakat terkadang juga mempertanyakan apakah kami selaku anggota DPRD, pejabat atau bukan. Dan sampai hari ini kami merasa jadi pejabat jadi-jadian,” ujarnya mengisi termen pertama diskusi dalam acara tersebut.

Menurutnya, ketidakpastian ini berawal dari eforia otonomi daerah; tidak boleh ada dikotomi kekuasaan. Itu makanya, sebagian orang bisa saja mengartikan pasal 18 ayat 2 dan 3 UUD 1945 memayungi kewenangan Pemda dalam mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerahnya, tanpa campur tangan DPRD. Parahnya, persepsi tersebut juga dapat menempatkan DPRD seakan berada di bawah Pemda, yang pergerakannya dibayangi oleh Depdagri. “Harus jelas, DPRD ini ‘dewan’ atau ‘dinas’,” lanjut Firman.

“Bila sempat mengartikan DPRD adalah bagian dari eksekutif, itu salah!” teriak Willa yang berasal dari FPDIP DPR RI ini.

Seperti yang dikatakan Chozin Chumaidy, Senin (28/2) lalu, wakil ketua pansus RUU Susduk, seperti dikutip Realitas dari situs DPR, sekarang ada kecenderungan kuat untuk berikhtiar agar DPRD diberikan suatu perkuatan dan reposisi khususnya dalam kewenangan hak budgetnya, kontrol dan juga membuat aturan perundangan. Sekarang ini terkesan di daerah-daerah bahwa DPRD ini adalah bagian dari Pemerintah Daerah (Pemda).

Bahkan gerak langkahnya seperti di bawah Depdagri, ini akan dirumuskan nanti dimana posisi DPRD itu. Dalam membahas masalah ini ingin menghimpun masukan lebih lengkap dari DPRD. Dengan masukan ini ada uusulan apakah DPRD tetap dibahas dalam RUU Susduk atau justru dalam UU tentang Pemerintahan Daerah. Muncul usulan sebetulnya DPRD dibahas bukan dalam RUU Susduk melainkan dalam RUU Pemda, karena Pemda terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD. “ Mestinya disitu, sehingga akan lebih memperkuat otonomi daerahnya,” tandas Chozin .

Perbedaan dalam Memahami UUD 1945
Perbedaan pemahaman terhadap pasal yang menyangkut DPRD dalam UUD 1945 sangat mungkin terjadi karena keberadaannya yang sama dengan pasal yang menyangkut Pemda, yaitu sama-sama berada pada Bab VI yang berjudul Pemerintahan Daerah. Sementara badan legislatif lainnya yaitu MPR, DPR dan DPD diatur dalam bab-bab tersendiri. Tidak salah bila anggota DPRD merasa dianaktirikan oleh UUD. Untuk mengantisipasi hal ini, kedepannya DPR akan mengupayakan amandemen V.

Ketua rombongan yang juga anggota komisi III DPR RI, Nursanita Nasution (F-PKS), menyatakan RUU Susduk tidak hanya ditujukan untuk mempertegas kedudukan DPRD, tapi juga diharapkan dapat mengefektifkan legislatif daerah sebagai penyambung lidah rakyat.
Para peserta acara yang berasal dari beberapa DPRD kabupaten/kota sangat berharap RUU Susduk ini yang akan menggantikan UU Susduk sebelumnya, yaitu UU No. 22 Tahun 2003. Hal ini dibuktikan dengan keaktifan mereka dalam sesi diskusi debarengi wajah mereka yang cerah selama kurang lebih 2 jam acara berlangsung. Ditambah lagi, Masful, wakil ketua DPRD Sumbar, yang memandu acara tersebut berbicara lantang di akhir acara mengajak para peserta berbicara langsung dengan ketua DPR RI di Jakarta pada Mei mendatang, sebelum RUU disahkan menjadi UU. “ duapuluh (20) dari seluruh pasal yang akan dijadikan UU kalau bisa dari usulan kita,” lanjutnya disambut tepuk tangan hadirin.

Status DPRD Menjadi Jelas
Berbahagialah para anggota dewan tingkat daerah, bila UU Susduk terbentuk. Dalam UU tersebut akan terdapat pasal yang menyatakan bahwa setiap pejabat negara dan masyarakat harus menjunjung tinggi kehormatan dan martabat DPRD, dengan memenuhi panggilan lembaga tersebut dan memberikan keterangan yang diperlukannya. Dengan demikian, status DPRD akan menjadi jelas, tidak seperti selama ini yang seakan hanya berfungsi sebagai ‘panitia’ pengesahan APBD dan Perda tanpa mempunyai kekuatan untuk menganalisa dampaknya terhadap masyarakat luas. Dan yang penting akan ada kejelasan bahwa DPRD bukan anak buahnya Depdagri.

Pada saat yang sama, dalam situs DPR (6/3) disebutkan Pansus Rusduk juga tengah melakukan sosialisasi RUU Rusduk di Kalimantan tengah yang lebih menekankan pada kemungkinan keberadaan DPD di daerah.

Melalui pembentukan RUU Rusduk, pemerintah jelas ingin lebih mengoptimalkan otonomi daerah. Maka bersiap-siaplah untuk maju, bagi daerah yang memiliki sumber daya yang potensial. Sebaliknya, tertinggallah daerah yang tidak mampu memenej sumber daya yang dimilikinya.

Tidak seperti yang diharapkan, pada sosialisasi RUU Susduk di ruang sidang utama DPRD Sumbar tidak seluruh perwakilan dari DPRD kabupaten/kota yang hadir.. Berdasarkan buku tamu, yang hadir hanya DPRD Kota Bukittinggi, DPRD Tanah Datar, DPRD Kota Padang dan DPRD Kota Padangpanjang.

Readmore »»

Orang Minang Otaknya Jalan

Emil Salim: Hantam Habis-Habisan Infrastruktur

SUMATRA Barat perlu mengembangkan industri yang sedang tumbuh di kawasan khatulistiwa ini. Terutama industri yang berkaitan dengan...

pertanian. Tapi, Penekanan terhadap industri pertanian bukan pada industri beras atau bahan mentah, melainkan kreatif industri. Misalnya, kreatif dalam industri makanan/masakan, kerajinan dan pengolahan hasil alam lainnya. Ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing hasil produksi di Sumbar dengan propinsi tetangga dan, tentunya, luar negeri.

“Masyarakat Minang ini otaknya jalan,” kata panelis dalam diskusi panel pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sumbar 2005-2025 di DPRD Sumbar Prof. Dr. Emil Salim,” bila ada kesempatan mereka akan bergerak. Kita punya industri makanan yang tumbuh, begitu juga dengan kerajinan. Jadi butuh infrastruktur untuk mendistribusikannya. Oleh sebab itu, hantam habis-habisan pada infrastruktur, itu kunci utamanya.”

Menurut mantan Mentri Lingkungan Hidup di jaman Suharto ini, kekurangan mencolok di Sumbar memang minimnya infrastruktur, terutama jalan. Selama ini aktivitas di jalan sangat padat, misalnya jalan raya Padang-Bukittinggi yang acapkali dilalui kargo bermuatan berat. Akibatnya, fasilitas jalan yang menghubungkan antar kabupaten/kota di Sumbar rata-rata rusak, karena kelebihan beban.

Itu menandakan industri sedang bekembang, tapi pemerintah kurang arif dalam menyikapi persoalan infrastruktur yang sesungguhnya menjadi darah pembangunan tersebut. Perbaikan-perbaikan jalan yang kebanyakan hanya dengan cara penambalan tidak akan memberikan hasil maksimal. Emil menyarankan, infrastruktur dikembangkan lebih jauh.

Butuh Kereta Api
“Yang saya belum lihat di sini adalah kereta api. Selama ini kan aktivitas di jalan sangat padat, apalagi dilalui kargo. Makanya jalan banyak yang rusak. Kereta api dibangun untuk kargo. Jadi nantinya kargo ke kereta api, beban jalan jadi kurang,” papar Emil yang mengaku kemenakannya H. Agus Salim ini.

Lebih jauh Emil juga menyarankan pengembangan jalur kargo kereta api ke Pekanbaru, sebab di daerah minyak itu sekarang sedang maju-majunya. “Kenapa ke pakan baru? Nah, kalau di darat ada Pakanbaru dan di pantai ada Teluk Bayur, (akan lebih mudah berhubungan dengan luar negeri-red) karena ada Asian Economy. Ada selat malaka. Jadi hantam habis-habisan pada infrastruktur,” lanjut Emil.

Pembangunan Sosial
Menurut Emil, pembangunan yang akan dikembangkan di Sumbar tidak hanya dalam bidang ekonomi. Pembangunan sosial budaya, pun menjadi prioritas penting. Sehubungan dengan tema diskusi panel Menjadikan Sumatra Barat Provinsi Berbasis SDM Tahun 2025, Emil menyokong fungsi lembaga adat di masing-masing daerah. Adat Basandi Syarak, Syarak basandi kitabullah harus ditanamkan benar ke masyarakat, karena itu dari dulu menjadi senjata utama Minangkabau dengan daerah lain.

Langkah nyata yang harus segera dilakukan adalah menyatukan semua unsur yang membentuk industri. Misalnya ada pertambangan, industri, ada pertanian, perkebunan, dan perikanan, bagaimana menggabungkannya menjadi suatu kekuatan, bukan persengketaan. Bagaimana menyatukan masing-masing potensi yang ada; mensinergikan masyarakat, pengusaha dan pemerintah; merajut keharmonisan sosial dan bisnis dan; kerjasama antara masyarakat dengan perguruan tinggi.

Pemda, kata Emil, seharusnya bisa membaca peta kemiskinan di Sumbar. Misalnya, daerah di daerah utara ada Pasaman yang infrastrukturnya mesti betul-betul jadi perhatian. Atau di daerah selatan, Pesisir Selatan, dimana kemiskinan bersumber dari banyaknya lahan kering yang tak mungkin di olah sebagai lahan pertanian. Hal-hal seperti ini harus diperhatikan pemda dengan memerankan fakultas pertanian.

Selain itu, pemda Sumbar juga harus pandai menimbang-nimbang dampak industri kepada masyarakat sekitar. “Kalau kita punya gunung, lembah, dataran dan pantai, bagaimana memanfaatkannya. Artinya kalau kau bangun pertambangan di hulu, bagaimana dampaknya pada masyarakat di hilir,” terang Emil.

Peran Ninik Mamak
Profesor dari Universitas Indonesia ini juga menegaskan, ninik mamak bukan pemerintah. Ia memiliki kaum dari keturunannya sendiri, atau privat domain yang tentu saja bertanggung jawab terhadap kaumnya itu. Sementara pemerintah, apalagi yang dipilih langsung oleh rakyat, merupakan public domain yang bertanggung jawab pada rakyat.

Penggabungan dua ‘domain’ ini akan menjadikan kekuatan yang dahsyat di Sumbar. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan pengaruh ninik mamak dalam program yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat. Misalnya dalam menghadapi persoalan tanah ulayat yang selalu menjadi kendala dalam pengembangan industri di Ranah Bundo ini.

Readmore »»

Apa Kabar Lagu Minang?

PERSONIL grup band asal Jawa kerap mengatakan puas setelah menggelar konser di Ranah Minang, tepatnya di Kota Padang. Betapa tidak, setiap gelaran musik tersebut selalu dibanjiri penggemar yang sebagian besar anak muda. Bagaimana dengan lagu Minang? Benarkah popularitas lagu-lagu ‘gaul’ itu, telah menggeser lagu Minang menjadi figuran di Ranah sendiri? Atau bahkan sedikit demi sedikit telah mengikis, bahkan, budaya Urang Awak?

Menurut seorang pencipta lagu Minang, Sexri Budiman, pusaka terbesar orang Minang adalah...

‘kato’ atau kata. Demikian keramatnya kata dalam bahasa Minang, dari penuturnya kita dapat menilai seberapa sopan orang tersebut, seberapa luas wawasan dan tingkat intelektualnya. Malangnya, saat ini, ‘pusaka’ itulah yang sedang dikikis sedikit demi sedikit oleh orang Minang sendiri terutama orang Padang.

“Cobalah simak, berapa banyak orang tua di Padang ini yang sengaja membiasakan anak-anaknya menggunakan Bahasa Indonesia sedari balita,” kata Sexri saat Realitas berkunjung ke rumahnya di kawasan Cendana Koto Kaciak Blok B No 22, Rabu pekan lalu,” mereka tidak sadar, tindakan mereka itu sama saja dengan menjauhkan anaknya dari budaya Minang, sebab budaya kita ini bermula dari kata-kata.”

Sexri, yang juga Staf Penata Kegiatan Musik di UPTD Taman Budaya ini menegaskan, itulah antara lain penyebab generasi muda sekarang tak menyukai lagu Minang. Parahnya, para remaja bahkan tak mengenal lagi apa itu budaya Minang. Tak heran bila mereka lebih cenderung menggilai lagu-lagu berbahasa Indonesia semisal yang dinyanyikan grup band Dewa 19, Peterpan, Nidji, Naff dan lain-lainnya, sekalian teradopsi budaya yang mereka anggap modern itu.

“Kita jauh tertinggal dari Cina dan Jepang, misalnya,” tutur Sexri. Orang Cina, ke mana mereka pergi, budaya mereka bawa, mereka tidak terpengaruh orang lain, begitu juga dengan Jepang. Sementara orang Minang, menurutnya, mudah sekali terpengaruh budaya luar tanpa menyaringnya terlebih dahulu, cocok dengan adat atau tidak.

Sejauh itukah efek dari tak menggunakan lagi bahasa Minang? Pencipta lagu Marawa ini menjawab,”Ya!”

Sementara itu, Pencipta lagu Minang lainnya, Agus Taher, memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, kita tak harus menjadikan ramainya pengunjung konser musik sebagai indikator maju mundurnya lagu Minang. “Coba lihat, industri rekaman saat ini jauh lebih banyak di banding tahun 90-an. Kalau produser waktu itu tidak sampai 10, dan Production House paling cuma Sinar Padang, Tanama, dan Minang Record. Sekarang dalam catatan saya produser sudah sekitar 75, dengan 26 PH. Berarti mereka masih eksis. Bahkan berkembang,” katanya saat dikunjungi di rumahnya di kawasan komplek Balitan di samping Sumatex Subur, Lubuk Kilangan, Rabu pekan lalu.

Selain itu, menurut Agus, masih banyak penyanyi Minang yang dipanggil ke luar Sumbar bahkan luar negeri, seperti Anroy’s, Ucok Sumbara, Odi Malik, Nedi Gampo, Susi, dan lainnya. “Si Odi Malik saja semalam berangkat ke Batam,” cetusnya. Jika masih bisa mereka di bayar 3-5 juta sekali show, kata Agus, berarti orang masih menghargai Lagu Minang.

Satu faktor yang menyebabkan lagu Minang tak terlalu menonjol di daerahnya sendiri yaitu kurangnya dukungan media. Ini sangat dirasakan oleh orang-orang seperti Sexri dan Agus. Sementara industri-industri musik di Jawa, jor-joran mengumbar artis mereka sampai ke pelosok-pelosok, baik di media cetak maupun elektronik. “Dulu di era 90-an itu kami sangat terbantu oleh media,” kata Agus.


Kualitas Kurang Diperhatikan

Dari segi kualitas pun, lagu Minang sekarang kabarnya banyak yang bobrok. Sexri, yang juga pemilik kursurs vokal, mengutarakan, lagu, seharusnya memiliki fondasi yang kuat pada kata dan roh (melodi). Kata, dalam hal ini bahasa Minang, tak boleh tidak, wajib dipilih yang benar-benar Minang, bukan saduran.Demikian pula dengan melodi, hendaknya menomorsatukan ‘garinyiak’ yang khas (Minang), bukan irama latin yang datar. Lagu yang baik akan menyebabkan orang yang mendengarnya menjadi arif, sebab banyak pelajaran di dalam syairnya. Bukan sebaliknya, setelah orang merasa arif, baru dia merasa perlu mendengar lagu.

Ini semua tak lepas dari kesiapan dan ilmu para pencipta lagu Minang itu sendiri. .”Banyak pencipta yang asal-asalan,” cetusnya. Mereka kebanyakan tak mau belajar, dan mempertahankan ego sendiri-sendiri, hingga tak kunjung berkembang.

Menjamurnya produser juga memegang andil menurunkan kualitas lagu Minang. Seperti yang dikatakan Agus tadi, produser sekarang ini sudah sampai 75 orang. Tapi, tak semuanya pandai menyeleksi lagu-lagu yang akan mereka biayai rekamannya. Banyak artis yang belum layak rekaman, mereka angkat juga. Bisa dikatakan, sekarang kuantitas lebih diutamakan dari kualitas yang notabene menjadi nilai jual.

Agus Taher, yang juga sekretaris Aserindo, mencatat, pernah dulu dari Juli 2004-Des 2005, anggotanya mengeluarkan 204 album. Dari segi kuantitas, luar biasa, dalam waktu 1,5 tahun asosiasi industri rekaman yang berpusat di Padang itu berani mencetak segitu banyak album. Bagaimana kualitasnya? “Sayangnya kan masih banyak produser yang coba-coba. Tergiur untung banyak saja.,” kata Agus. Produser yang berpengalaman, menurutnya akan lebih selektif memilih lagu dan penyanyi.

Dengan banyaknya produser, lagu-lagu yang beredar pun tak terkontrol. Dulu, lagu Minang sudah terkenal dengan ciri ratok-nya. Kita tentu masih ingat lagu Kasiak Tujuah Muaro buah karya Agus Taher yang dinyanyikan Zalmon. Album yang diantaranya berisi lagu itu mendapat penghargaan dari HDX, sebagai album dengan penjualan terbanyak. Bayangkan, ia mengalahkan seluruh daerah di Indonesia. Betapa antusiasnya pencinta lagu Minang dulu itu.

Nah, entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja hadir lagu-lagu triping dan remix. Kata Agus Taher, jenis lagu semacam itu tak cocok dengan budaya orang Minang dan dasar lagu Minang sendiri. Benar saja, segmentasi pasarnya jadi terpecah. Lagu daerah, setidaknya harus menggambarkan keadaan daerahnya sendiri, baru punya nilai jual.

Agus tak menampik, para pencipta harus tetap kreatif dan terus belajar mengenal situasi penggemar. Mereka boleh berkreasi mengikuti aliran musik yang tengah berkembang sekarang. “Saya saja sudah menggunakan melodi manual seperti musik-musik anak muda sekarang itu,” katanya. Tapi, sebaiknya tidak meninggalkan identitas yang dulu telah sama-sama dibangun: lagu Minang yang punya syair dan harmoni yang indah.


Pencipta Tak Kompak

Sexri Budiman menyayangkan, rekan-rekannya sesama pencipta lagu tak biasa berkumpul guna saling bertukar fikiran. “Kalau berkumpul pun, kadang cuma maota-ota nan ndak jaleh atau mangecekkan urang,” katanya. Itu sebabnya ia tak lagi aktif dalam PAPRI walau pernah menjadi sekretaris di organisasi para artis dan pencipta lagu itu.

Lebih jauh ia memaparkan, umumnya urang awak (seniman Minang) tak benar-benar paham akan hakikat sebuah organisasi. Dalam fikiran mereka, organisasi cenderung diartikan semata sebagai tempat yang disana mereka bisa meminjam uang atau minta bantuan lainnya. Padahal, lazimnya, organisasi adalah wadah pemersatu orang-orang yang merasa satu profesi, tujuan, atau ilmu. Organisasi hidup dari para anggotanya, bukan sebaliknya, anggota yang mencari hidup di organisasi.

Readmore »»

26 Juli 2008

Manajemen Berpolitik Binatang



DUNIA POLITIK, seperti lirik lagu Iwan Fals, agaknya memang dunia hura-hura para binatang. Di sana terkumpul sejumlah orang dengan berjumlah-jumlah muslihat. Semua orang adalah musuh. Bisa jadi, teman, yang selama ini akrab tiba-tiba saja jadi musuh yang mematikan. Bila ingin masuk ke dunia itu, siap-siaplah membunuh, bahkan, ibu kandungmu sendiri.


Tapi, tentu tak selamanya politik identik dengan perilaku tak manusiawi. Banyak sisi baik yang bisa diperoleh. Di sana ada manajemen yang rapi. Dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai pada pengawasan.

Perencanaan
Sekawanan politikus pertama-tama akan berkumpul, biasanya di hotel atau restoran. Mereka
berdiskusi menyusun rencana bagaimana menghantam musuh, seperti menyusun strategi perang. Sekecil amubapun kelemahan musuh, harus ditemukan dalam pertemuan itu. Setelah itu, baru memikirkan bagaimana menutupi mata masyarakat pada kehebatan atau keunggulan lawan politik (baca: si brengsek) itu.

Setelah gempuran rapi disusun. Sekarang giliran mencari celah menonjolkan kebaikan ikon politik yang ingin diusung. Tentu saja segala kelemahannya dimanipulasi agar tak terlalu mencolok. Nah, mereka akan terlihat seperti segerombolan anjing liar mengintai ratusan rusa yang tengah merumput.

Kita bisa ambil contoh, tak jauh-jauh, di Padang ini saja. Bulan Agustus mendatang pemda akan mengadakan Padang Fair 2008. Nah, kalau tak sebentar lagi akan datang ajang pilkada, tema yang diusung tak akan dipersoalkan. Coba lihat saja, kenapa pula acara yang sedianya memeriahkan ulang tahun kota Padang itu bertema mempublikasikan hasil pembangunan yang dibuat Fauzi Bahar, sang walikota. Kenapa lagi kalau bukan ingin memanipulasi Padang Fair menjadi iklan si incumbent. Itu cuma contoh kasat mata, yang tak tampak serupa jin lebih banyak lagi. Tapi, masyarakat bukannya tak tahu; tak mau tahu malah. Perut mereka lebih berarti daripada memikirkan otak busuk pemimpin mereka.

Pengorganisasian
Setiap anggota kawanan, ditempatkan sesuai dengan keahlian masing-masing. Ada yang bertugas sebagai juru bicara, juru lobi, penyandang dana dan sebagainya.

Pelaksanaan
Si Juru Bicara, harus sesegera mungkin menyiapkan konsep memutarbalikkan apa saja, asal sang bos benar-benar mengungguli musuh. Si Juru Lobi, melompat sana-lompat sini, serupa tupai. Di satu kawasan, ia akan mencari Tuan Tanah atau lebih tepatnya orang yang paling berpengaruh. Selipkan sesobek panjar, lalu bisikkan sebuah iming kesejahteraan. Setelah itu, secepat cheetah memburu mangsa lain. Semetara itu, penyandang dana menghitung seluruh pengeluaran, biar nanti bisa ditentukan berapa keuntungan yang harus ditagih pada ikon jika terpilih.

Pengawasan
Setiap anggota harus menjalankan pekerjaan sesuai rencana pada kapasitas masing-masing. Mereka akan diawasi sangat terliti, seperti elang mengawasi seekor ular di udara dengan jarak ratusan meter.

Seandainya sang ikon menang, berbahagialah seluruh kawanan, kecuali banyak masyarkat miskin yang terlanjur terbuai iming-iming, mereka kembali ke dunia mereka, dunia susah. Sebab mereka memang cuma sekedar objekan.

Bila kalah, rencana menjatuhkan musuh harus disusun. Di antara anggota akan ada yang berpaling ke pemimpin terpilih dan menjilat.

Apa manfaat yang dapat diambil? Segala sesuatu memang harus dimanajemeni dengan baik, meniru perusahaan profesional. Anjing liar saja, tak biasa menyerbu mangsa tanpa mengintai terlebih dahulu, dan membagi posisi serangan pada masing-masing anggota kawanan. Tapi sayangnya, anjing liar tak ada yang berkhianat pada kelompoknya.

Selamat menerapkan manajemen politik ala binatang pada urusan sekecil apapun!

Readmore »»

23 Juli 2008

Menulis di Atas Danau

Satu pagi saja, sambil memangku laptop, aku ingin mengayuh sampan ke tengah danau Maninjau. Lalu akan kutulis sebuah cerita tentang kota, lengkap dengan riaknya.

Mungkin itu harus membuatku lena diombang asap knalpot hingga matahari menguning.

Saat itu, kubayangkan, banyak pengangguran mengapung. Itulah saatnya aku menepi. Ke Kota.
Dengan laptop basah di jinjingan, aku akan duduk di bangku belakang bis kota rombengan. Akan kutulis lagi cerita tentang dusun, lengkap dengan gedung megahnya, menggaruk angkasa.

Readmore »»