07 November 2008

Percintaan Si Gadih Ranti

Ramai pekan Saribunian
Ramai pedagang yang berlalu
Ramai sampai petang hari
Dengarkanlah oleh Tuan
Kaba cerita seorang dahulu
Ialah si Upik Gadih Ranti
...

SITI Nurbaya. Mendengar nama itu, angan kita mungkin segera melayang pada kisah kasih tak sampai dua orang remaja di jaman dulu. Atau bisa juga kita teringat objek wisata taman Siti Nurbaya di Gunung Padang; tempat konon Siti Nurbaya dikuburkan. Tapi, bagaimana dengan Gadih Ranti?

Mungkin cuma para mahasiswa sastra daerah Minangkabau yang tahu nama itu. Pun kalau mereka mempelajari sastra lisan Minangkabau atau kaba “Si Gadih Ranti jo Bujang Saman”.

Itu yang membedakan dua legenda tersebut. Cerita Siti Nurbaya telah diolah dan dipublikasikan sedemikian rupa, hingga diketahui oleh khalayak. Tak hanya dalam bentuk novel karangan Marah Rusli yang dicetak berulang kali, Siti juga pernah divisualisasikan Asrul Sani lewat sinetron di TVRI beberapa tahun lalu. Bahkan, sebuah grup band papan atas yang bukan berasal dari Sumbar, Dewa 19, juga pernah melambungkan nama Nurbaya dalam lagu berjudul “Cukup Siti Nurbaya”. Belum lagi, tuangan para peseni Minang ke kesenian tradisi, serupa randai, saluang, atau lagu pop berbahasa daerah. Belakangan, sebuah jembatan di kota Padang pun diberi nama sang legenda. Buahnya, objek wisata yang membawa embel-embel nama Siti Nurbaya pun ikut tenar.

Tak berlebihan, guna “menjual” objek wisata yang memiliki sisi mitos atau legenda, perlu langkah besar dalam upaya melambungkan terlebih dahulu sang legenda yang diusung tersebut. Siti Nurbaya yang disebut di atas tak hanya satu-satunya pemisalan. Ada lagi Malin Kundang, yang membuat pantai air manis jadi kesohor. Di daaerah lain, misalnya legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi, kisah di belakang objek wisata Gunung Tangkuban Perahu. Dua legenda terakhir juga telah diapungkan setinggi-tingginya, hingga menempati positioning yang kuat di benak masyarakat.

Ini mungkin yang menjadikan objek wisata Gadih Ranti di kawasan Maninjau, kurang terkenal. Tak ada pengembangan kisah; apa yang menarik dari sang tokoh. Ia telah menjadi satu dari belasan aset terlupakan di Kabupaten Agam.

Pengunjung Danau Maninjau, mungkin telah terlalu terhipnotis oleh keelokan paras danau itu. Apalagi bagi mereka yang sempat menikmatinya dari arah Bukittinggi. Kelok 44 (ampek puluah ampek) telah menyajikan pada mereka pemandangan danau bak lukisan yang menakjubkan. Itu mungkin yang menyebabkan kebanyakan dari mereka kehilangan rasa ingin tahu, tentang objek “minor” lain di sana. Salah satunya, objek wisata Gadih Ranti, yang juga tak kuat legendanya itu. Danau Maninjau sendiri, terkenal dengan Bujang Sambilan-nya.

Bentukan alam yang unik
Objek wisata berupa air terjun dan pemandian itu terletak di kawasan antara kecamatan Tanjung Raya dan Lubuk Basung. Tepatnya di kisaran Lubuk Sao, tak jauh dari bendungan irigasi Batang Antokan; sekitar 12 KM dari Pasar Maninjau atau 3 KM dari Pasar Usang Lubuk Basung.

Sebagai bentukan alam yang terletak di kawasan hutan, suhu di sekitar air terjun dan pemandian Gadih Ranti sangatlah sejuk. Sangat cocok untuk tempa melepas lelah dan kejenuhan bagi para pekerja kantoran di kota yang tiap hari, meminjam istilah Iwan Fals, berkelahi dengan waktu.

Sebetulnya, Gadih Ranti merupakan aset potensial. Ia memiliki ciri khas yang dapat dijual. Pertama, air terjunnya bercabang. Tak seperti, misalnya, air terjun lembah anai yang jatuh sekaligus, di Gadih Ranti, aliran air itu merambat dan berliku dulu di dinding tebing, baru jatuh. Dari kejauhan akan terlihat serupa aliran kapas putih yang merambati bukit hijau.

Kedua, pemandiannya. Inilah sesungguhnya yang menjadi muasal nama Gadih Ranti. Di sana, konon, tempat Gadih Ranti, seorang gadis cantik berambut panjang, sering mandi. Masyarakat sekitar masih menyimpan misteri tentang pemandian itu. Bila anda berkunjung ke sana, cobalah perhatikan dasar kolam pemandian itu. Ia terbentuk dari sebuah batu yang besar. Seorang teman, alumni Fakultas Sastra Unand, M. Reza, yang juga penulis blog, melukiskannya begini: seakan-akan batu alam yang besar tersebut sengaja dipahat menjadi wadah untuk menampung air untuk mandi dan berendam.

Nah, sebagai objek wisata alam, Gadih Ranti sudah memenuhi berbagai persyaratan. Seandainya terletak di pinggir jalan, serupa air terjun Lembah Anai, mungkin legenda tentang Gadih Ranti tak perlu dilambungkan. Orang-orang akan tertarik sendiri, sebab bisa langsung menyaksikannya dari dalam kendaraan yang sedang mereka bawa atau tumpangi.

Namun Gadih Ranti berada di tempat tersembunyi, seperti juga taman Siti Nurbaya dan batu Malin Kundang. Jauh dari lalu-lalang kendaraan. Hampir setengah kilo Jalan menuju lokasi itu pun masih berupa jalan setapak yang sangat alami. Cara terbaik guna mempopulerkannya adalah mengadopsi bagaimana Siti Nurbaya dan Malin Kundang terkenal, yaitu: mengembangkan kisah tentang Gadih Ranti. Mungkin dengan menerbitkan buku berupa novel, komik atau bahkan lewat sinetron/film di televisi.

Kaba “Si Gadih Ranti jo Bujang Saman”
Pantun di bagian awal tulisan ini merupakan bagian awal pula dari kaba “Si Gadih Ranti jo Bujang Saman” karya Syamsuddin Sutan Radjo Endah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh M. Atar Semi. Cerita yang pernah diterbitkan oleh Pustaka Indonesia tersebut diterbitkan kembali oleh Proyek Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, pada 1991.

Langkah penerjemahan kaba sekaligus penerbitannya ke dalam bentuk buku tersebut sebetulnya sudah menjadi langkah bagus guna memperkenalkan cerita tentang Gadih Ranti pada masyarakat. Sebab, di jaman sekarang, banyak orang yang kurang berminat pada sastra lisan khas Minangkabau (kaba) itu; apa lagi para remaja. Mereka lebih tertarik membaca novel atau menonton film.

Tapi, mungkin saja, ceritanya masih belum dikemas semenarik cerita Siti Nurbaya atau Malin Kundang, hingga Gadih Ranti tak terlalu dikenal. Ia masih berupa terjemahan “telanjang” dari kaba. Belum berbentuk cerita utuh yang mudah dan enak dinikmati semua kalangan.

Kisah Cinta Gadih Ranti
Sebetulnya cerita Gadih Ranti agak mirip dengan Siti Nurbaya. Dari kaba milik Sutan Radjo Endah, yang resensinya ditulis oleh seorang blogger asal Sumbar, tersebutlah kisah hubungan asmara (pertunangan) antara si Bujang Saman dengan Si Gadih Ranti. Percintaan mereka terhalang oleh keinginan Datuk Mangkuto Sati untuk memperistri Ranti. Datuk sendiri digambarkan sebagai sosok penghulu kepala yang otoriter dalam pemerintahan dan suka korupsi.

Guna memuluskan keinginannya, Datuk berupaya menjauhkan Saman dari Ranti. Ia akhirnya berhasil mengkondisikan Saman menjadi pekerja rodi di Malalak, sebuah daerah di bukit sebelah barat Danau Maninjau. Sang Datuk berharap, Saman mati di sana, dan hubungan pertungannya dengan Ranti putus.

Tapi, cinta Ranti telah menghujam sangat dalam di sanubari Saman. Daripada hidup seperti ini/ elok saya berani mati. Dengan cara tertentu ia berhasil melarikan diri dari rombongan rodi. Pemuda itu kembali ke kampungnya. Namun, sial bagi Saman, anak buah Datuk Mangkuto yang mengetahui pelariannya; menghadang dan mengeroyoknya. Perkelahian pun tak bisa dihindari. Sejumlah anak buah Datuk terpelanting tak berdaya, sebab ilmu silat Saman jauh di atas mereka.

Setelah itu, Saman berhadapan langsung dengan orang yang berniat merebut kekasihnya. Perkelahian berlanjut. Singkat cerita, Saman tetap menang. Ia meneruskan perjalanan. Sekitar tiga bulan setelah itu, ia menikah dengan pujaan hatinya dan merantau ke Padang.

Nah, demikian sepenggal kisah tentang Gadih Ranti, sosok yang diusung masyarakat setempat dalam menamakan objek wisata di daerah mereka itu. Pemda Agam pun telah resmi menjadikannya aset daerah, dengan memberikan papan petunjuk berlabel Pemerintah Kabupaten Agam di jalan menuju lokasi tersebut. Tapi, agaknyak, bila ingin mempopulerkannya, pemda perlu memikirkan kelanjutan pengembangan cerita sang “empunya” pemandian dan air terjun itu.

Mungkin, di masa akan datang, ceritanya dapat ditulis lebih menarik bergaya modern. Tentu saja dengan tidak menghilangnya nilai-nilai nasehat yang terkandung di dalamnya, serta dengan memperkuat tema: siapa sesungguhnya Gadih Ranti. Berlayar kapal dari Jepun/ Penuh muatan cawan dan pinggan/ Dikarang kaba dan pantun/ Jika untung jadi pelajaran.***

Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Mingguan Rakyat Realitas Edisi 45, 7-14 November 2008

Tidak ada komentar: