23 Desember 2008

Jika Tubo Tiba...

Saya membayangkan, betapa banyaknya orang Maninjau akan memenuhi rumah sakit jiwa.

Saya masih ingat, dulu sekitar tahun 1990-an, masa-masa “turun ke danau” bagi orang-orang yang bukan “orang danau” semacam saya, adalah masa paling menyenangkan. Kala itu, di kampung saya, selingkar Danau Maninjau, orang-orang sangat akrab dengan istilah tubo. Jika tubo tiba, hampir semua warga berduyun-duyun ke tepian.

Tubo merupakan sebutan untuk suatu keadaan danau yang lain dari biasanya. Air danau berubah menjadi hijau pekat. Bau belerang yang terdapat di dasar danau, menyeruak dari permukaan air yang tak tenang sebagaimana sebelumnya. Itu terjadi hampir setiap tahun, biasanya menjelang bulan puasa.

Kala itulah, masyarakat, baik yang memang bermata pencaharian sebagai nelayan maupun yang tidak, menikmati “panen” ikan. Sebab, puluhan ribu ekor ikan, dari yang berukuran seujung kuku semacam rinuak, sampai pada yang sebesar paha serupa barau yang ada di danau, menepi dalam keadaan setengah sadar—orang Maninjau menyebutnya ikan yang sedang nena. Ikan-ikan itu seperti keracunan dan berusaha menjauh dari pusat danau yang terus mengeluarkan belerang. Menu masakan di setiap rumah di sana, sudah pasti dipenuhi ikan selama seminggu berturut-turut.

Nah, apa jadinya bila tubo datang saat sekarang? Tak mustahil, akan banyak orang Maninjau, khususnya pemilik keramba dilarikan ke rumah sakit jiwa.

Betapa tidak, ratusan orang Maninjau kini menggantungkan hidupnya pada bisnis ikan dengan jala apung (keramba). Cobalah lihat, di sepanjang tepian danau itu, kini bertaburan lebih dari 10 ribu petak keramba. Jutaan ekor ikan siap panen akan bergelimpangan di sepanjang jalanan di pinggir danau, bila tubo datang lagi seperti yang terjadi di awal-awal banyaknya keramba, 1997. Saat itu, saya mendengar ada pemilik keramba yang tenggen (gejala gila), sebab menderita kerugian ratusan juta rupiah.

Keramba, terbukti telah meningkatkan perekonomian masyarakat Maninjau. Sayangnya, saya tidak memiliki data valid tentang lonjakan pertumbuhan ekonomi akibat bisnis ini. Mungkin beberapa waktu ke depan saya akan coba melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Tulisan ini, semata memperhatikan sekilas perubahan kehidupan orang Maninjau yang semula terkenal sebagai daerah pariwisata potensial, sekarang menjadi kawasan bisnis ikan yang juga potensial. Bahkan, kepotensialannya jauh melebihi potensialnya kawasan itu sebagai daerah wisata.

Ini dapat dibuktikan dengan tak lagi banyak pemuda kampung yang menganggur. Kita ambil contoh di kampung saya saja, Gasang, sebuah jorong kecil, 2 kilometer ke Utara Pasar Maninjau. Sepuluh tahun lalu, saya masih melihat kawan-kawan saya hilir mudik kampung, tak jelas tujuannya. Mereka kebanyakan bekerja sebagai kuli bangunan, dan nelayan kambuhan yang ke danau sekali-sekali, bila sudah benar-benar kehabisan uang. Yang menamatkan SMA pun tak seberapa.

Sekarang, hampir tak ada lagi pengangguran. Setidaknya, mereka memiliki motor sendiri untuk ojek. Ini mungkin disebabkan mudahnya persyaratan dan banyaknya fasilitas pembelian motor secara kredit. Tapi saya menyilau dari sisi lain; bila tidak ada harapan akan sanggup membayar, mereka tentu tak sembarangan mengambil kreditan. Nah, keramba telah berperan besar di sini. Banyak keluarga yang telah menambah mata pencahariannya dengan berkeramba. Bahkan, sebagian benar-benar membanting setir menjadi pekeramba tulen.

Hebatnya lagi, orang-orang Maninjau yang diperantauan banyak pula yang memodali sanak famili mereka untuk berkeramba. Ada juga yang memang sengaja merantau guna mencarikan modal keramba untuk saudaranya yang tinggal di kampung. Ini merupakan budaya baru yang tumbuh bukan tanpa alasan. Kesuksesan beberapa orang di tahun-tahun lalu telah memancing minat masyarakat lain.

Tapi sayangnya, kemilau bisnis ini menimbulkan kerusuhan di sisi lain. Air danau tak lagi sejernih dulu. Danau pun, cuma indah jika dipandang dari jauh. Akankah silau uang dari keramba telah melupakan masyarakat Maninjau akan kelestarian lingkungan danaunya sendiri? Saya merasa, pihak Kabupaten Agam, mungkin melalui Bapedalda, sudah harus membuat kebijakan guna mengantisipasi terjadinya peracunan air yang berlarut-larut oleh makanan ikan di sana.

Tubo, yang kini sudah tak terdengar, mungkin saja suatu saat nanti datang kembali, dengan porsi raksasa, sebab telah lama belerang terpendam. Tak kan muat rumah sakit jiwa di daerah ini jika itu terjadi. Masyarakat di sana sekarang sedang terbelit hutang dalam memodali keramba mereka. Dan, keadaan danau yang tetap normal, adalah nyawa mereka.***

Tidak ada komentar: