23 Desember 2008

Penjajahan Supir Angkot

Dinas Perhubungan Kota Padang agaknya perlu memakai otak dalam menyetujui penambahan armada angkutan umum. Para supir angkutan umum pun mestinya pakai otak dalam memilih cara guna menggelar unjuk protes atas kebijakan pemerintah kota.



SELASA (16/12) pagi itu saya buru-buru ke kampus di Limau Manis. Ada ujian mid pukul 08.00. Sebab bangun kesiangan, sudah lewat pukul 07.30, dan jarak antara kawasan Jati—tempat tinggal saya—dengan kampus, sekitar 17 kilometer, saya terpaksa “memeras” gas Jupiter Z hingga kecepatan maksimum 100 Km/jam. Untung saja, keadaan jalanan sedang “aneh” kala itu.

“Belum terlambat kayaknya, nih,” kata saya dalam hati. Saya berpikir demikian bukan tanpa alasan. Masih banyak rekan-rekan mahasiswa dan siswa berseragam sekolah menengah yang berdiri di pinggir Jalan Andalas hingga simpang Anduring. Mereka tentu menunggu angkutan kota (angkot) atau bis. Seperti hari-hari yang lalu, kalau keadaannya begini, berarti masih sekitar pukul 07.30. Jadi, saya tak perlu terlalu berburu waktu. Saya merasa, jam di rumah saya lah yang bermasalah.

Saya masih sempat, seperti biasa, melirik ke salah satu gang tempat teman saya mengontrak rumah, tak jauh dari Mesjid Kebenaran, kalau-kalau dia juga belum berangkat.

Tapi, pikiran saya yang semula, tiba-tiba kembali menguat. Keadaan jalanan memang tidak seperti biasanya, di pagi yang tak begitu cerah itu. Semakin jauh motor saya melaju, hingga simpang empat By Pass, semakin banyak pula saya melihat para mahasiswa yang masih menunggu angkutan. Tak banyak berpikir lagi, “kuda” kembali saya pacu, seperti beberapa saat sebelumnya..

Dalam perjalanan yang tak menyenangkan, karena saya ternyata memang telah benar-benar terlambat, itu saya ingat, kemarinnya para supir angkutan umum mogok beroperasi. Kemogokan itu rupanya masih berlanjut. Cuma satu atau dua angkot berwarna hijau yang “nekat”.

Menjelang sampai di Pasar Baru, keadaannya semakin jelas. Sekitar sepuluh bis kota berbaris di pinggir jalan. Beberapa orang kernet nampak sibuk mencuci bis mereka masing-masing. Wajah-wajah tak berdosa itu seperti bersiul-siul menikmati “penjajahan” mereka pada para mahasiswa yang sedang menunggu tanpa kepastian di sepanjang jalan tadi.

Ini, mungkin dampak buruk dari kebebasan berekspresi yang melejit perkembangannya sejak reformasi 10 tahun silam. Cobalah tengok, telah berapa kali kejadian macam ini terjadi. Berapa kali pula kejadian yang merugikan masyarakat ini akan terulang?

“Penjajahan” ala reformasi ini tentu tak bisa dibiarkan. Sebelum saya malah menulis berkepanjangan tentang hal-hal di luar konteks, sebaiknya saya batasi saja pada pembahasan mengapa saya tega memakai istilah penjajahan, sebagaimana judul ulasan ini. Satu kata itu bagai belati bermata dua.

Mata pertama, tentu saja saya merujuk penjajahan para supir angkot pada mahasiswa. Anak-anak muda itu butuh dan bergantung pada angkutan umum guna menuju kampus. Nah, para supir angkot—tapi sebetulnya lebih tepat pengusaha angkot—tahu hal tersebut. Mereka memanfaatkan kebergantungan ini guna memuluskan keinginan mereka sendiri. Apa saja yang mereka inginkan atau untuk memprotes kebijakan pemko yang bisa jadi memang merugikan mereka, para supir tinggal berhenti beroperasi sementara.

Mereka tak peduli, akibat ulah mereka, para mahasiswa yang jadwal kuliahnya telah diprogram sepagi mungkin itu, terganggu. Mereka seenaknya saja memperlakukan mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya, serupa sandera, guna menarik perhatian pemerintah.

Mata kedua, penjajahan itu menimpa para supir angkot sendiri. Kebijakan keliru dari pemerintah, telah merugikan mereka. Dalam kasus tempo hari itu, para supir mogok karena menentang kebijakan Pemerintah Kota Padang, tepatnya Dinas Perhubungan yang memberi izin penambahan angkutan kota sebanyak, kalau tak salah, 20 unit. Ini telah membuat supir angkot dan bis kota yang telah lama beroperasi, marah. Dengan lebih dari 4000 unit yang ada sekarang saja, kami sudah harus kerja ekstra keras dalam mencari penumpang, demikian alasan mereka. Tapi, di sisi lain, Dinas Perhubungan perlu meningkatkan pendapatan, salah satunya dengan memberi izin trayek pada para pengusaha angkot baru.

Tumbal terakhir tetap saja mahasiswa (baca: masyarakat). Reformasi yang berkembang secara aneh di negeri ini, memungkinkan setiap kebebasan berekspresi menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat. Kini, kita tinggal menunggu saja, sampai kapan hal ini bertahan. Sampai kapan pemerintah kota benar-benar memakai otak dalam membuat suatu kebijakan yang berhubungan dengan khalayak.***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pertamaxxx.. Wah, aku harus kasihan sama siapa ya, mahasiswa atau supir angkot...