29 Juli 2008

Apa Kabar Lagu Minang?

PERSONIL grup band asal Jawa kerap mengatakan puas setelah menggelar konser di Ranah Minang, tepatnya di Kota Padang. Betapa tidak, setiap gelaran musik tersebut selalu dibanjiri penggemar yang sebagian besar anak muda. Bagaimana dengan lagu Minang? Benarkah popularitas lagu-lagu ‘gaul’ itu, telah menggeser lagu Minang menjadi figuran di Ranah sendiri? Atau bahkan sedikit demi sedikit telah mengikis, bahkan, budaya Urang Awak?

Menurut seorang pencipta lagu Minang, Sexri Budiman, pusaka terbesar orang Minang adalah...

‘kato’ atau kata. Demikian keramatnya kata dalam bahasa Minang, dari penuturnya kita dapat menilai seberapa sopan orang tersebut, seberapa luas wawasan dan tingkat intelektualnya. Malangnya, saat ini, ‘pusaka’ itulah yang sedang dikikis sedikit demi sedikit oleh orang Minang sendiri terutama orang Padang.

“Cobalah simak, berapa banyak orang tua di Padang ini yang sengaja membiasakan anak-anaknya menggunakan Bahasa Indonesia sedari balita,” kata Sexri saat Realitas berkunjung ke rumahnya di kawasan Cendana Koto Kaciak Blok B No 22, Rabu pekan lalu,” mereka tidak sadar, tindakan mereka itu sama saja dengan menjauhkan anaknya dari budaya Minang, sebab budaya kita ini bermula dari kata-kata.”

Sexri, yang juga Staf Penata Kegiatan Musik di UPTD Taman Budaya ini menegaskan, itulah antara lain penyebab generasi muda sekarang tak menyukai lagu Minang. Parahnya, para remaja bahkan tak mengenal lagi apa itu budaya Minang. Tak heran bila mereka lebih cenderung menggilai lagu-lagu berbahasa Indonesia semisal yang dinyanyikan grup band Dewa 19, Peterpan, Nidji, Naff dan lain-lainnya, sekalian teradopsi budaya yang mereka anggap modern itu.

“Kita jauh tertinggal dari Cina dan Jepang, misalnya,” tutur Sexri. Orang Cina, ke mana mereka pergi, budaya mereka bawa, mereka tidak terpengaruh orang lain, begitu juga dengan Jepang. Sementara orang Minang, menurutnya, mudah sekali terpengaruh budaya luar tanpa menyaringnya terlebih dahulu, cocok dengan adat atau tidak.

Sejauh itukah efek dari tak menggunakan lagi bahasa Minang? Pencipta lagu Marawa ini menjawab,”Ya!”

Sementara itu, Pencipta lagu Minang lainnya, Agus Taher, memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, kita tak harus menjadikan ramainya pengunjung konser musik sebagai indikator maju mundurnya lagu Minang. “Coba lihat, industri rekaman saat ini jauh lebih banyak di banding tahun 90-an. Kalau produser waktu itu tidak sampai 10, dan Production House paling cuma Sinar Padang, Tanama, dan Minang Record. Sekarang dalam catatan saya produser sudah sekitar 75, dengan 26 PH. Berarti mereka masih eksis. Bahkan berkembang,” katanya saat dikunjungi di rumahnya di kawasan komplek Balitan di samping Sumatex Subur, Lubuk Kilangan, Rabu pekan lalu.

Selain itu, menurut Agus, masih banyak penyanyi Minang yang dipanggil ke luar Sumbar bahkan luar negeri, seperti Anroy’s, Ucok Sumbara, Odi Malik, Nedi Gampo, Susi, dan lainnya. “Si Odi Malik saja semalam berangkat ke Batam,” cetusnya. Jika masih bisa mereka di bayar 3-5 juta sekali show, kata Agus, berarti orang masih menghargai Lagu Minang.

Satu faktor yang menyebabkan lagu Minang tak terlalu menonjol di daerahnya sendiri yaitu kurangnya dukungan media. Ini sangat dirasakan oleh orang-orang seperti Sexri dan Agus. Sementara industri-industri musik di Jawa, jor-joran mengumbar artis mereka sampai ke pelosok-pelosok, baik di media cetak maupun elektronik. “Dulu di era 90-an itu kami sangat terbantu oleh media,” kata Agus.


Kualitas Kurang Diperhatikan

Dari segi kualitas pun, lagu Minang sekarang kabarnya banyak yang bobrok. Sexri, yang juga pemilik kursurs vokal, mengutarakan, lagu, seharusnya memiliki fondasi yang kuat pada kata dan roh (melodi). Kata, dalam hal ini bahasa Minang, tak boleh tidak, wajib dipilih yang benar-benar Minang, bukan saduran.Demikian pula dengan melodi, hendaknya menomorsatukan ‘garinyiak’ yang khas (Minang), bukan irama latin yang datar. Lagu yang baik akan menyebabkan orang yang mendengarnya menjadi arif, sebab banyak pelajaran di dalam syairnya. Bukan sebaliknya, setelah orang merasa arif, baru dia merasa perlu mendengar lagu.

Ini semua tak lepas dari kesiapan dan ilmu para pencipta lagu Minang itu sendiri. .”Banyak pencipta yang asal-asalan,” cetusnya. Mereka kebanyakan tak mau belajar, dan mempertahankan ego sendiri-sendiri, hingga tak kunjung berkembang.

Menjamurnya produser juga memegang andil menurunkan kualitas lagu Minang. Seperti yang dikatakan Agus tadi, produser sekarang ini sudah sampai 75 orang. Tapi, tak semuanya pandai menyeleksi lagu-lagu yang akan mereka biayai rekamannya. Banyak artis yang belum layak rekaman, mereka angkat juga. Bisa dikatakan, sekarang kuantitas lebih diutamakan dari kualitas yang notabene menjadi nilai jual.

Agus Taher, yang juga sekretaris Aserindo, mencatat, pernah dulu dari Juli 2004-Des 2005, anggotanya mengeluarkan 204 album. Dari segi kuantitas, luar biasa, dalam waktu 1,5 tahun asosiasi industri rekaman yang berpusat di Padang itu berani mencetak segitu banyak album. Bagaimana kualitasnya? “Sayangnya kan masih banyak produser yang coba-coba. Tergiur untung banyak saja.,” kata Agus. Produser yang berpengalaman, menurutnya akan lebih selektif memilih lagu dan penyanyi.

Dengan banyaknya produser, lagu-lagu yang beredar pun tak terkontrol. Dulu, lagu Minang sudah terkenal dengan ciri ratok-nya. Kita tentu masih ingat lagu Kasiak Tujuah Muaro buah karya Agus Taher yang dinyanyikan Zalmon. Album yang diantaranya berisi lagu itu mendapat penghargaan dari HDX, sebagai album dengan penjualan terbanyak. Bayangkan, ia mengalahkan seluruh daerah di Indonesia. Betapa antusiasnya pencinta lagu Minang dulu itu.

Nah, entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja hadir lagu-lagu triping dan remix. Kata Agus Taher, jenis lagu semacam itu tak cocok dengan budaya orang Minang dan dasar lagu Minang sendiri. Benar saja, segmentasi pasarnya jadi terpecah. Lagu daerah, setidaknya harus menggambarkan keadaan daerahnya sendiri, baru punya nilai jual.

Agus tak menampik, para pencipta harus tetap kreatif dan terus belajar mengenal situasi penggemar. Mereka boleh berkreasi mengikuti aliran musik yang tengah berkembang sekarang. “Saya saja sudah menggunakan melodi manual seperti musik-musik anak muda sekarang itu,” katanya. Tapi, sebaiknya tidak meninggalkan identitas yang dulu telah sama-sama dibangun: lagu Minang yang punya syair dan harmoni yang indah.


Pencipta Tak Kompak

Sexri Budiman menyayangkan, rekan-rekannya sesama pencipta lagu tak biasa berkumpul guna saling bertukar fikiran. “Kalau berkumpul pun, kadang cuma maota-ota nan ndak jaleh atau mangecekkan urang,” katanya. Itu sebabnya ia tak lagi aktif dalam PAPRI walau pernah menjadi sekretaris di organisasi para artis dan pencipta lagu itu.

Lebih jauh ia memaparkan, umumnya urang awak (seniman Minang) tak benar-benar paham akan hakikat sebuah organisasi. Dalam fikiran mereka, organisasi cenderung diartikan semata sebagai tempat yang disana mereka bisa meminjam uang atau minta bantuan lainnya. Padahal, lazimnya, organisasi adalah wadah pemersatu orang-orang yang merasa satu profesi, tujuan, atau ilmu. Organisasi hidup dari para anggotanya, bukan sebaliknya, anggota yang mencari hidup di organisasi.

Tidak ada komentar: